Pada artikel kali ini kita akan mengupas tuntas potensi ekonomi tepung tapioka/cassava starch (HS Code: 110814) dari faktor pendorong, potensi income dan analisis terperinci dinamika pasar lokal dan internasional, dan peluang serta tantangan yang akan dihadapi para pemain kunci pada industri ini.
Contents
Tepung Tapioka di Pasar Lokal
Pertama-tama, kita perlu memahami pasar lokal dan paradigma yang ada pada industri tapioka. Pandangan umum yang ada pada singkong (bahan baku utama pada pembuatan tepung tapioka) selama ini mempunyai sentimen negatif, singkong dianggap sebagai komoditas inferior, jarang ada yang mau menggeluti industri ini bahkan melirik saja tidak mau. Singkong dianggap sebagai komoditas “ndeso” yang bidangnya hanya cocok untuk digeluti oleh masyarakat pedesaan. Sehingga seperti yang diharapkan perkembangan dan ketertarikan para investor/pelaku usaha pada bidang ini menjadi sepi peminat.
Padahal menurut laporan dari Tridge, negara Indonesia menempati peringkat ke-4 sebagai salah satu penghasil tapioka terbesar di dunia. Di Indonesia sentra produksi singkong tersebar di 13 provinsi. Ada lima besar provinsi penghasil singkong diantaranya adalah Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat dan DI Yogyakarta. Data Ditjen Tanaman Pangan menyebutkan, luas areal penanaman singkong tahun 2019 sebesar 628.305 ha dan produksi sebanyak 16,35 juta ton.
Sementara itu, jika dilihat dari aspek kesehatan dan nutrisinya, tanaman singkong memiliki gizi yang cukup tinggi dan dapat menggantikan nasi putih yang selama ini menjadi makanan pokok sebagian besar bangsa Indonesia. Singkong yang telah diolah dengan baik—selain menjadi tepung tapioka—juga dapat menjadi tepung mocaf (modified cassava flour). Mocaf secara fungsi penggunaannya dapat menggantikan tepung terigu yang selama ini diaplikasikan untuk membuat kue, mie, roti, atau olahan terigu lainnya. Tepung mocaf lebih sehat daripada tepung terigu karena sifatnya yang bebas gluten. Beberapa jenis olahan singkong lainnya, saat ini menjadi bisnis yang menguntungkan, seperti keripik berbumbu dengan berbagai merek: Qtela, Kusuka, dan jenis keripik balado. Berbagai jenis olahan langsung dengan bahan baku singkong telah berkembang menjadi industri skala besar, menengah dan rumah tangga dengan omset besar bahkan untuk ekspor.
Selain dari yang telah disebutkan diatas, produk industri tapioka ini juga banyak dibutuhkan dan digunakan untuk industri food and beverages, industri tekstil, farmasi, pakan ternak, kosmetik, pasta gigi, penyegar mulut, larutan infus dan masih banyak yang lain.
Dampak Impor Tapioka Mengubah Peta Persaingan Pasar Lokal
Pemerintah Indonesia dianggap gagal dalam mengantisipasi pesatnya pertumbuhan industri makanan, minuman, farmasi dan industri lainnya yang membutuhkan tapioka sebagai bahan baku utama mereka. Penyebab lesunya industri tapioka dalam negeri disinyalir berasal dari level public policy dan decision maker yang membuat Indonesia menjadi importir tepung tapioka terbesar di dunia. Ketua Dewan Holtikultura Nasional Benny Kusbini mengatakan, “Ini karena komunikasi antara kementerian perindustrian dan kementerian pertanian tidak sinkron.” Yang terjadi di lapangan saat ini adalah singkong yang diproduksi petani dalam negeri berlimpah tapi produk turunannya yaitu tepung tapioka tak banyak dihasilkan di dalam negeri. Sebagian pelaku industri pengguna tepung tapioka di dalam negeri lebih memilih impor karena mendapat jaminan pasokan yang stabil dan harganya jauh lebih murah daripada tepung tapioka lokal. Pada tahun 2017 import tapioka diproyeksikan mencapai 600.000 ton hingga 1 juta ton.

Lebih lanjut, komentar datang dari Ketua Masyarakat Singkong Indonesia (MSI) Suharyo Husen mengatakan, setiap tahun, kebutuhan tepung tapioka meningkat, di tahun 2017 mencapai 8,5 juta ton. “Kebutuhan industri di dalam negeri cukup besar,” kata Suharyo di Bogor, Minggu (21/5). Dia juga menyebutkan, impor tepung tapioka menyebabkan perbedaan harga antara produk impor dan pasokan lokal. Harga tapioka import lebih murah daripada tepung tapioka lokal. Sehingga dengan adanya persaingan harga tersebut, sejumlah usaha pengolahan singkong di dalam negeri kalah saing dan akhirnya cenderung memilih berhenti beroperasi. “Banyak pabrik yang tutup, mulai Oktober tahun lalu sampai dengan Februari,” kata Suharyo.
Tepung Tapioka di Pasar Internasional
Thailand dan Vietnam merupakan market leader negara penghasil tapioka.
Tapioca Market Report, Tridge.com
Tepung singkong yang biasa disebut Tapioka, diekstraksi dari akar tanaman singkong mudah ditemukan di daerah khatulistiwa. Produksi tanaman singkong didominasi oleh Nigeria (19%), Republik Demokratik Kongo (13%), Thailand (10%), Ghana (7%), dan Brasil (6%). Meskipun Nigeria merupakan salah satu penghasil singkong papan atas, namun kemampuannya dalam mengolah singkong sangat minim.
Negara Eksportir Tapioka
Thailand adalah produsen tepung tapioka terbesar, dengan kapasitas lebih dari 2 juta MT per tahun. Menyusul Thailand adalah Brasil, Nigeria, dan Indonesia sebagai negara penghasil tapioka teratas. Sebagian besar konsumsi terkonsentrasi di negara-negara tropis di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Singkong dan Tapioka adalah sumber kalori yang digunakan ketiga setelah nasi dan jagung di wilayah ini.
Thailand dan Vietnam mendominasi ekspor tapioka dengan total pangsa 96% dalam volume ekspor. Dari segi nilai, tapioka senilai USD 2 juta telah diekspor pada tahun 2019 dari kedua negara ini.
Pada tahun 2020, sebanyak 5,1 juta MT tapioka diekspor ke dunia. Thailand, Vietnam, Laos dan Indonesia adalah 4 besar pemimpin dalam eksportir tapioka. Dan lagi-lagi Thailand dan Vietnam masih mendominasi ekspor tapioka dengan total pangsa 94% dalam volume ekspor. Dari sisi nilai, tapioka senilai USD 2,2 miliar diekspor pada 2020, di mana Thailand memiliki pangsa 53%. Mengikuti Thailand adalah Vietnam dengan pangsa 40% dalam nilai ekspor global, Laos dengan 2%, dan Indonesia dengan persentase kecil 1,4%.
Negara Importir Tapioka
China merupakan salah satu negara pengimpor tapioka terkemuka pada tahun 2020, dengan pangsa 69% dari total nilai impor tapioka. Cina sendiri mengimpor 2,8 juta MT tapioka, diikuti oleh Taiwan (281K MT) dan Indonesia (149K MT). Menyusul Indonesia adalah Malaysia dan Jepang. Secara kumulatif, lima besar negara pengimpor tapioka memegang sekitar 86% dari total nilai impor tapioka.
Permintaan dari China sangat dipengaruhi oleh kebijakan dalam negeri untuk biji-bijian terutama untuk jagung yang memiliki aplikasi yang sama persis di industri yang sama yang memanfaatkan singkong (pakan ternak, etanol, alkohol, industri makanan).
Pada Januari-Mei 2021, nilai impor tapioka China meningkat 37,1% YoY menjadi USD 722,7 juta
Tapioka pada Functional Food



Pasar tepung tapioka global berubah dengan cepat dan menunjukkan pertumbuhan pasar yang kuat. Covid-19 merubah pola konsumsi di seluruh dunia menjadi lebih sadar dan sadar akan kesehatan yang mendorong permintaannya yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan yang lebih baik, meningkatkan umur panjang, dan mencegah timbulnya penyakit kronis.
Functional Food (Makanan Fungsional) adalah makanan yang diperkaya dengan nutrisi dan sifat menghindari penyakit merangsang sektor makanan bergizi dunia. Pola makan makanan konsumen yang berubah dan preferensi rasa mereka yang berkembang telah mengharuskan produsen untuk memperkenalkan dan berinovasi makanan dan minuman fungsional baru di pasar global. Meningkatnya gaya hidup yang sibuk (hectic lifestyle) dan tren kebugaran yang meningkat telah menyebabkan peningkatan konsumsi makanan fungsional saat bepergian seperti produk roti, minuman yang diperkaya (fortified beverages), smoothie, dan lainnya di tempat kerja mereka. Tepung tapioka adalah salah satu bahan yang digunakan dalam berbagai produk pangan fungsional sebagai bahan karena memiliki sifat serat makanan alami, sehingga mendorong pertumbuhan pasar global. Tapioka dipercaya manfaatnya dalam memberi rasa dan efek sensorik yang khas pada makanan.
Tapioka Pada Sereal Memicu Pertumbuhan Pasar
Pati ubi kayu adalah salah satu bahan yang sangat penting untuk ditambahkan ke produk makanan oleh produsen. Produk susu, roti, dan makanan ringan adalah salah satu kategori utama yang memanfaatkan tepung ubi kayu. Di antaranya produk pangan utama yang dikonsumsi masyarakat adalah makanan ringan dan sereal. Untuk meningkatkan kualitas produk makanan, produsen memasukkan penggunaan tepung tapioka di dalamnya. Kandungan pati pada tapioka membantu untuk mencapai viskositas yang diinginkan dalam produk makanan ringan bila dibandingkan dengan produk pati lainnya.
Tapioka digunakan sebagai agen pengikat alami dan texturizer dalam produk makanan. Sifat menahan air, viskositas, dan pengikatan yang tinggi membuatnya lebih cocok untuk pembuatan produk makanan ringan.
fortunebusinessinsights.com
Karena permintaan untuk makanan ringan yang diekstrusi, sereal siap saji, dan kue pretzel meningkat, permintaan pati ubi kayu/tapioka juga diperkirakan akan meningkat.
Market Restrain di Industri Tapioka
Produksi tepung tapioka sangat tergantung pada ketersediaan dan harga bahan baku. Kendala seperti kenaikan harga, bahan baku berkualitas rendah, dan lain-lain dalam pengadaan bahan baku berdampak langsung pada produksi tepung tapioka secara keseluruhan di tingkat global.
Seiring dengan membaiknya kondisi ekonomi dunia, harga berbagai bahan baku dan komoditas lainnya juga meningkat di pasar saat ini. Kenaikan harga bahan baku berdampak negatif pada pola konsumsi dan utilitasnya di pasar. Misalnya, harga pati singkong atau pati ubi kayu pada tahun 2015 sebesar 421 USD per ton dan pada dua tahun berikutnya turun menjadi 328 USD per ton pada tahun 2017. Pada tahun 2018, harga kembali naik hingga 378 USD per ton. Harga yang lebih tinggi dan kualitas bahan baku yang terpengaruh karena fluktuasi musim, penyakit tanah, dan penyakit tanaman lainnya diperkirakan akan menghambat pasar tepung tapioka secara keseluruhan selama periode perkiraan (2015-2026). Kenaikan harga bahan baku juga mengakibatkan proses pembuatan tepung tapioka. Berikut adalah grafik proyeksi pertumbuhan Pasar Tapioka di Amerika Utara :



Nilai Pasar Global Tepung Tapioka
Dilansir dari Marketwatch, pasar tepung tapioka global bernilai 7772,02 Juta USD atau sekitar 113,12 Triliun Rupiah pada tahun 2021 dan para ahli memperkirakan akan tumbuh dengan CAGR (Compound Annual Growth Rate) 3,08% dari tahun 2021 hingga 2027.
Indonesia Harus Ikut Ambil Bagian
Peluang Indonesia untuk masuk pada peta persaingan tapioka global sangat besar. Indonesia secara geografis terletak pada garis equator sebagai bonus geografis yang mana menjadi surga untuk tanaman singkong ini tumbuh subur. Indonesia harus berbenah, langkah nyata harus diambil, konsolidasi antar stakeholder baik dari pihak pemerintah dan swasta mesti terjalin secara produktif. Penelitian dan kajian ilmiah dari kampus dan cendekiawan diperlukan sebagai instrumen pendukung untuk memaksimalkan seluruh potensi yang ada. Penulis yakin, jika kita bersama, kita bisa mewujudkan angan dan asa betapapun tantangan dan rintangan yang harus dihadapi. Maju terus Indonesiaku!